Links

+ Nofriza's Blogger
+ Muslim Blogger Indonesia
+ Koleksi Puisiku
+ Constantio Community
+ Nindiyasari's Personal Website
 

SPONSOR









Powered by Blogger

 
Wednesday, June 08, 2005

Menatap Mentari (First Edition)

Ku kembali berlari.... Entah apa yang ingin ku raih, aku berpacu dalam deru malam yang senyap. Aku mengarungi setiap lorong-lorong kota dengan kehampaan, peluhku membanjiri tubuh dengan luapan amarah yang seharusnya tak perlu terjadi. Aku kembali mengejar mimpi hari ini, seperti disetiap malam kala waktu aku sepatutnya terlelap. Ataukah sebenarnya aku berlari dalam keadaan tertidur ? Mungkinkah ? Akankah seganjil itu diriku ?

Tiada pegangan untukku tertegun menangisi nasib, aku bagai pemalam tak kenal lelah, dan kala mentari datang aku tetap terjaga dan terus mengais rejeki di setiap sudut kota ini dengan pakaian lusuhku yang tak pernah ku cuci. Aku ingin seperti manusia-manusia lain yang ada di bumi ini, begitu berdinamika, tidak sepertiku yang malang....

"Fuuuuh....!!!" Aku menghela nafas panjang sambil memegangi lututku yang gemetar.... "Aku lelah...."

Gemuruh suara binatang malam menemani keinginanku melepas rasa lelahku di bawah pohon beringin yang sangat rindang, dan cukup membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya bisa berharap dapat memejamkan mata kali ini, disela rasa laparku yang menghebat. Aku sama sekali tidak menikmati waktu makanku, memang nasibku sedang sial, aku tak dapat menemukan makanan sisa di tong-tong sampah yang sudah menjadi langgananku untuk kukunjungi.

Tapi bukankah aku selalu bernasib sial ?. Aku tertawa dalam dinginnya malam, marasuk tak berperasaan ke seluruh sendi-sendi tubuhku, aku menatap langit yang tertutupi rindangnya dedaunan pohon beringin, aku masih dapat melihat bintang-bintang kecil mengintip sambil seakan-akan mengucapkan "Selamat Malam".

"Malam bintang, ku harap aku bisa tidur pulas malam ini" Sapaku lembut diiringi kekehanku sendiri karena kelakuan anehku ini, mataku mulai meratup dan akhirnya aku terlelap.

Syukurlah aku tak bermimpi malam tadi, aku bisa merasakan kenyamanan tidur yang luar biasa. Aku membuka mata, dan sinar mentari membanjiri wajahku dengan lembut, sebenarnya aku masih mengantuk dan ingin meneruskan tidurku, tapi aku paksakan diri untuk bangun, aku memicingkan mata sambil mencoba untuk mengumpulkan energiku di pagi ini.

"Kenapa banyak orang yang mengelilingiku ?", tanyaku dalam hati. Sambil menerka-nerka jawabannya ketika melihat orang-orang mengerumuni diriku. Kutatap setiap wajah gelisah itu yang membuatku semakin tak mengerti, mataku kini menyapu setiap arah, hingga....

Aku menemukan tubuhku tergulai lemas tepat disamping kananku, dengan raut wajah pucat dan seuntai senyum hambar terpajang di sana. Aku terlonjak kaget diiringi jeritanku yang sudah tentu tak bisa didengarkan oleh orang-orang itu. Aku menatap tubuhku dengan seksama, menelitinya dengan kebinggungan luar biasa, tubuh itu sangat dingin, tak berekspresi dan tak berjiwa....

"Ini tidak mungkin....", gumamku tak percaya. "Aku telah mati...??", tambahku. Aku hanya bisa tersenyum kecut menantang Tuhan. Cepat-cepat aku singkirkan pikiran itu dari otakku, dan kini aku tersenyum puas sambil penuh kegembiraan menatap langit pagi yang kini begitu kucintai.

"Terima kasih...." Aku berteriak dengan sekuat tenagaku. Terima kasih kupanjatkan kepada Tuhan yang kini telah menghentikan derita panjangku di dunia yang kejam ini, disaat aku seharusnya merasakan pagi yang wajar sebagai manusia yang tersisih, yang begitu malang yang harus terus berjalan mencari tong-tong sampah, berharap dewi keberuntungan bersamaku, dan... menemukan makanan sisa yang dapat kujadikan santapanku.

Mungkin Tuhan mendengar lelahku tadi malam, pikirku sambil terus memandangi tubuh pucat itu, aku menghampiri tubuh itu dan terus berusaha untuk menjamahnya beberapa kali, walau kutahu itu tidak mungkin. Aku mulai menjauhi kerumunan manusia-manusia yang mencibir jijik melihat jasadku, kemudian menatapnya dari kejauhan.
Sosok anak laki-laki memandangiku dengan tatapan tajam penuh tanda tanya, sesekali ia melihat kerumunan orang-orang itu, dan kembali menatapku tanpa berkedip. Ia menghampiriku dengan segenap keberaniannya untuk mendekati sesosok ROH. Ya benar.... sekarang ini statusku adalah ROH.

"Om, bukannya yang di sana tadi ?", ia menunjukkan jari telunjuknya yang mungil ke"rah kerumunan itu.
"Itu kan Om...", tambahnya meyakinkan. Aku hanya bisa mengangguk
"Tapi bukannya sudah meninggal ?" Ia semakin mendekatiku,
"Gak mungkin Om ada disini, lalu disana itu siapa ?", ia kembali melirik ke arah dimana ia tunjukkan tadi. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.
"Apa itu kembaran Om ?", Tanya lagi sambil menyirikan keningnya yang lebar, aku hanya menggeleng.
"Lalu ?"

"Itu.... Om." Sahutku lirih, mencoba untuk tidak menakutinya.

"Oo...." jawabnya ringan. "Jadi om ini adalah ROH.... atau ARWAH yach....", ia mencoba menjamahku dan selalu saja tak berhasil, aku hanya tersenyum yang kadang diiringi tawa kecil melihat kegigihannya untuk menyentuh tubuhku.

"Kamu gak takut, adik kecil ???", aku menatapnya dalam.

"Tidak...", sahutnya cepat. "Mengapa harus takut ?, kamu roh yang tidak menyeramkan."
Aku menatap diriku, mencoba mencerna kata-katanya, ya.... Mungkin benar ucapannya, karena melihat kondisiku sekarang ini jauh lebih baik dari pada saat aku hidup, aku luar biasa bersih dibalut dengan pakaian ang serba putih. Aku mencoba membayangkan wajahku sendiri, mungkin aku lebih terlihat "cute" ketika aku sudah mati sekarang ini.

"Om.... enak gak mati ???", anak itu menggaruk-garukkan kepala mungilnya, dan tanpa berperasaan bertanya hal yang sangat konyol itu. Aku hanya mencibirkan bibirku dan kemudian duduk bersila mencoba mensejajarkan diri dengannya.

"Om sendiri belum tau, om baru saja mati atau memang dari tadi malam, om gak tau....", aku menggidikkan bahu.

"Perasaan Om seakan bagun pagi seperti biasanya, dan tiba-tiba Om sudah dikerumuni orang ramai, dan dari situ Om baru menyadari bahwa sebenarnya Om sudah meninggal.", tambahku mencoba menjelaskan kepadanya.

"Wah.... Matinya enak banget, gak ada rasa sakit sama sekali dong ?", wajah mungilnya begitu berseri-seri. Aku hanya menggangguk, walaupun aku tidak menyukai pertanyaan-pertanyaan konyolnya itu.

"Om, habis ini mau pergi kemana ?", anak itu mulai sibuk dengan bungkusan kecil yang dibawanya, ia mengeluarkan sebuah komik dari tumpukan buku-buku kecil aku aku kira seluruh isi bungkusan itu adalah buku komik.

"Om, gak tau.", jawabku jujur.

"RUDDYYYYY....", terdengar teriakan wanita dari arah kerumunan orang-orang itu, anak lelaki itu segera mencari-cari sumber suara dan kemudian mengembangkan senyumnya setelah melihat sesosok wanita muda menatapnya penuh kasih.

"Itu ibuku, Om.", tunjuknya, wanita itu sangat anggun dan manis. "Aku harus kesana....", ia memasukkan kembali komiknya dalam bukusan itu, dan kemudian ia menatapku dalam.

"Hati-hati ya, Om....", sahutnya sedikit menasehatiku, aku hanya mengangguk dan menatapnya berlari menghampiri ibunya, sesekali ia menegok kebelakang sambil melambaikan tangannya. Wanita muda itu kini menatapku nanar, lalu ia tersenyum dengan ramah.
Aku sedikit kaget ketika menyadari wanita itu juga bisa melihat sosok baruku.
Aku melanjutkan perjalanan yang sebenarnya aku sendiri tidak mengetahui harus pergi kemana, tapi kini langkahku lebih ringan, lebih tiada ada rasa beban. Kini aku bisa berjalan dan berlari semauku tanpa harus diburu rasa lapar dan haus, serta kegilaan aktifitas manusia lainnya.

Aku mendapati dunia baru dan aku mulai mencintainya.... Dunia Gaib dan aku adalah ROH.... Gelakku dalam tarian pagi ini....

Dipersembahkan untuk Majalah Selasar Edisi Kedua

 
Oleh : constantio ketika 9:38 PM
0 Komentar:

Post a Comment

<< Home


 
 

Cerpen Sebelumnya



    Copyright by Constantio @ 2005. All Right Reserved