|
|
|
Sunday, June 12, 2005
|
Kesendirianku Keindahanku
Sikap apatisku kepadanya membuatku yakin atas keputusan yang akan aku ambil, dalam sebuah pertengkaran dan konflik yang kembali terjadi, sebuah dilematis dimana rasa simpatik itu hilang, rasa sayang itu bagai debu yang terbang seiring dengan keinginan kami yang masih ingin lepas.... bebas.... tanpa batas....
Permainan cinta yang ia buat sudah aku ketahui, entah itu sebuah barisan balas dendam yang akan dia luncurkan dimana aku akan menunggu tanggal dimana rudal dendam itu akan meledakkan kepalaku. Dan tanggung jawab, hak dan kewajiban itu sudah sirna seperti kematian rasa ketika kutatap wajahnya, meneropong jauh kedalam sanubarinya adakah namaku disana, hanya sebuah anekdot basi yang kutemukan disana dimana irama lagu yang sama yang membuat bising, membuatku lelah untuk mendengar, membuat aku menyadari aku mencintai kesendirian, aku teramat mencintai kesendirianku, ketidaksiapanku untuk membagi rasa, membagi sebuah asa, menjadi sebuah beban yang menyebabkan otakku lebih tak lagi mampu memiliki kapasitas cukup untuk berfikir keras, dan entah mata itu tak lagi aku rindui ketika menatapku dahulu, mengapa ada rasa benci menyusup mendalam ketika aku mendengar barisan kata-katanya.
"Kamu duduk disini dong sayang, kita bicara." Sahutnya lembut ketika aku menyodorkan kertas dengan aturan, pasal-pasal yang sebenarnya aku malas untuk menyatakannya. Hanya tinggal sebuah keinginan untuk membuat kepastian dalam hubungan ini, walau aku tahu kemana arahnya. "Disini aja." "Aku gak ngerti maksudnya apa." "Tulis aja, apa yang kamu inginkan dari aku, ketidaksukaan kita terhadap pasangan masing-masing." Jawabku dengan senyum hambar. Dan aku siap menulis, padahal aku ingin membuat lembaran itu tetap kosong, seperti kekosongan dan kehampaanku yang aku rasakan. "Gak ngerti neh, maksudnya hak apa ?" Hah...? dalam hatiku berfikir keras, apakah ini lelaki yang bisa membuatku bahagia dimana dia tak bisa membuat batas antara hak, kewajiban dan tanggung jawab ?
Pertengkaran dimana aku tak akan mengeluarkan tangisan basiku untuk membuat hubungan ini lebih baik, tangisan buaya yang biasa aku luncurkan sebagai senjata untuk membuat dia lemah dan kembali menyadari kesalahannya, tapi kali ini tidak, tidak dan tidak !!! Ketegasanku membuatku lebih lega dengan deretan kata-kata yang mungkin jika aku menjadi dirinya aku akan muak dan akan berlari keluar, meluncurkan motor dengan segenap kemarahanku.
"Kamu marah sama aku ?" Tanyanya dengan tatapan dalam "Tidak. Untuk apa ?" "Jangan marah yach." "Ya udah, sekarang kamu maunya apa ?" Tanyaku dengan ketegaran yang entah dari mana datangnya, karena aku sudah memantapkan diriku. Dan terima kasih Tuhan dengan ketegaran yang dia berikan. "Jangan bicara seperti itu. Aku binggung." "Jangan binggung, sekarang aku tanya, kamu maunya apa?" Dia mematuk-matukkan bolpoint ditangannya dibuku yang aku sediakan untuk tatakan kertas yang kusodorkan tadi. Kulihat ia pun sebenarnya malas untuk melanjutkan hubungan ini, dan aku sudah muak dengan semua aroma yang memenuhi ruangan teras ini, hambar..... "Aku binggung De, binggung....." "Binggung pegangan." Sahutku mencoba membuat lelucon yang seharusnya tak kubuat. Akh Tuhan aku lelah, aku tak memandang ia sekalipun ketika ia berujar, dimana biasanya aku akan menatapnya dan terkadang tersipu malu jika tatapan itu membuat aku merasakan sesuatu dari tatapannya dimana aku tak sanggup untuk membalasnya, kemarin, hari ini dan esok.....
"Aku ngenes kalo ngeliat kamu ?" "Kenapa ?" Tanyaku ketika pertama kali dia datang. "Ya pokoknya ngenes aja." "Gak usah kasian sama gue, gue gak perlu dikasihani." Kataku dengan deretan kata-kata lo gue yang kadang membubuhi percakapan kami, yang biasanya kuatur untuk membuat hubungan ini lebih santun, atau aku belajar memanggilnya dengan 'Mas' seperti beberapa hari lalu. Dan kebulatan tekatku membuatku benar-benar mati rasa, tanpa memikirkan indahnya dulu ia memperhatikanku, menyayangi aku, walau aku tahu itu semua hanya sebuah pura-pura yang dengan bodohnya aku mengikuti itu dengan kebohongan pula dimana aku memiliki beban untuk mencoba memahaminya, mengerti setiap sendi di kehidupannya dan mencoba untuk membalas kasih palsunya.
Maaf untuk semua angkara yang tak ada jalan keluar ini, dan aku keluar dari taman dimana taman itu tak bisa hijau, selalu gersang walau aku menyiramnya hingga aku akan menangis darah untuk mencoba membuatnya subur, dan aku berlalu dari tamanmu, melangkah tanpa menengok kebelakang dan aku ingin bagai angel yang lepas mengepakkan sayap hingga aku lelah dan singgah untuk berhenti mencari indahnya sebuah cinta. dan hari itu kuburanmu telah aku buat, peti dimana sebuah buku yang aku simpan disana, disaat aku lelah membacanya, terengah ketika mengupas walau baru setengahnya, ternyata aku masih ingin sepi.... masih ingin sendiri hingga aku bisa menyadari aku bagian dari tulang rusuk seseorang yang akan menjadi pendampingku selamanya..... sampai aku tersengal dan menghadap sang Pencipta, pemberi semua kerahmatan yang begitu aku syukuri.
|
|
Oleh : constantio ketika 11:54 PM
|
4 Komentar
Thursday, June 09, 2005
|
Keluhan Dita pada Tuhan (Bagian III)
Siang ini aku merasa sendiri.... hampa.... aku ingin menelponnya lagi, tapi aku takut aku tak bisa menahan diri. Aku hanya menelpon sahabatku dan menemukan ia tertawa disana mencoba menghibur, ketika ia tahu warna suaraku yang berbeda, tanpa bertanya ia langsung menghujamku dengan lelucon-leluconnya yang bisa membuatku tersenyum. Akh.... tak sendiri ternyata aku berjalan, aku pun menarik telpon kembali menekan tombol-tombol itu, dan mendengar suara Bunda disana, begitu merdu dan menyejukkan.
"Bunda.... lagi apa ?" Tanyaku dengan suara sedikit lebih riang. "Sedang membereskan beberapa arsip saja kok Nak, kamu sendiri masih sibuk di kantor ?" "Gak kok Bunda." Jawabku cepat "Ada apa tumben telpon Bunda, biasanya Bunda terus yang telpon kamu, ada masalah ?" Tanya Bunda lebih bijak, sesekali aku mendengar carikan-carikan kertas yang mungkin sedang dirapihkan Bunda di kantornya. "Cuma pengen dengar suara Bunda aja kok." Rasa ingin menangis, lalu aku segera ingin menutup pembicaraan kami. "Sudah nanti cerita saja dirumah, pasti masalah Jacky kan ? tapi kamu sudah telpon dia pagi ini kan seperti biasanya ?" "Iya Bunda, sudah...." Jawabku lirih. Akh.... Hanya Bunda yang mungkin mengerti getir hatiku selain Tuhanku. "Nanti Dita telpon Bunda lagi yach." "Iya Nak, jangan lupa makan siang, ingat sudah mau jam dua belas yach. Jaga kesehatan, itu penting. Kamu anak Bunda tercinta dan Bunda tidak ingin kamu sakit nantinya, jangan membantah jika dibilang sama Bunda yach." Cecar Bunda seperti biasanya. "Iya Bunda, sudah dulu ya. Dagg Bunda."
Aku menutup telpon dan ada ketenangan disini, disudut hati yang semakin gersang. Aku menulis keluhan lagi pada Tuhan. "Tuhan.... Detik demi detik mengapa aku begitu merasa tak berarti, bisakah kau bangunkan istana nyata untuk semua kisah semu hidupku yang Kau ciptakan." Aku menatap layar komputerku yang kosong, ingin menulis semua rasa kepadanya.... tapi aku tak kuasa, berapa lama akan berlangsung rasa ini, esok ? sebulan lagi ? setahun lagi ? ataukah seabad lagi ? Aku ingin menemukan cinta sejatiku, hanya itu tak lebih dari sebuah pencarian panjang yang buat aku merana. Cinta.... kasih..... sayang.... rangkaian rasa yang akan buatku semakin kecil, semakin kecil dan semakin kerdil untuk melawan dunia.
Siang ini matahari semakin terik, aku menatap dari jendela kantorku. "Mentari.... mengertikah engkau akan deritaku ?? Tuhanku jangan siksa aku lagi, jika aku ingin aku ingin menikam diriku dengan belati, karena ini lebih perih dari tusukan belati. Tuhan jangan bermain dengan rasaku, aku lelah.... aku lebih memilih menghadapmu untuk semua duka ini."
Handphoneku berbunyi dan dia disana mengirimku sebuah sms yang mungkin tak akan pernah ku sangka sebelumnya. "Makan siang !!!!" Walau hanya sebuah kalimat pendek tanpa arti wajahku berseri tapi mengapa hatiku makin perih.....
|
|
Oleh : constantio ketika 8:08 PM
|
0 Komentar
|
Keluhan Dita pada Tuhan (Bagian II)
Aku menelponnya pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, dan mungkin ketika sore nanti aku akan menelponnya, melapas rasa rinduku yang semakin menyesakkan. Aku ingin bertemu dengannya lagi, menyaksikan gerak-geriknya yang selalu memberikan bau kharisma yang begitu aku suka. Aku mendapati candaan yang biasanya, hanya sebuah tawa lepas hambar tanpa rasa cinta. "Tuhan bisakah dia mengerti setiap ucapanku ?? Tuhan aku kembali mengeluh, maafkan aku. Aku hanya mengharapkan Engkau tak pernah lelah untuk mendengarkan keluhanku."
Ketika aku mendengar suaranya ada sebuah keinginan mendalam untuk menjadi kekasihnya, tapi aku itu tidak mungkin, dan aku tak mungkin merebutnya dari seseorang yang akan bisa merasakan perih yang mendalam dari perihku ini. "Tuhan.... Jika mungkin buatlah aku tak berperasaan, mati rasa.... mati asa.... Tolonglah hamba-Mu yang lemah ini." Aku tertunduk kaku menatap lantai putih yang seakan memberi cermin kegundahanku. "Tuhan.... Sudahi rasa cinta ini.... aku tak sanggup untuk merasakannya lagi.... Ini sangat menyesakkan.... AKu tak mampu bertahan." Isakku dalam tangis pagi yang serasa sangat dingin dengan kesendirian dan ketakutanku yang menghebat.
Dan hari ini aku kembali merenungi makna cinta, mengapa Tuhan menciptakan rasa yang sepertinya tak bisa buatku sedikit bahagia, secercah kegembiraan yang akan buatku bisa menatap angkasa dengan kepuasanku dengan semua citaku. Cinta... kenapa itu ada ??? Itu menyiksaku teramat dalam.
Lamunanku menatap terik matahari, tatapi mengapa dingin menyerbuku ? "Tuhan.... Aku merindukan-Mu. Ulurkan tangan-Mu hari ini.... esok.... agarku tak lagi merasa sendirian.... Jangan lelah kala keluhanku sangat membosankan untuk Kau dengar.... Kala aku masih memiliki cinta untuknya"
|
|
Oleh : constantio ketika 7:44 PM
|
0 Komentar
|
Keluhan Dita pada Tuhan (Bagian I)
Aku kembali ke kuburan hatiku, merenung disana. Mencoba mengunjungi satu demi satu memeori yang telah ku kubur dalam-dalam ada sebuah kuburan yang masih menggangga dengan sebuah peti mati yang masih belum tertutup. ada ketidak ikhlasan aku menutupnya. Dan tepat disebelahnya aku menyediakan sebuah kuburan dengan peti yang masih berada diluar tetapi figura itu tertutup rapat-rapat di dalamnya, dengan foto yang aku ingin kubur untuk selamanya. Dan keraguan itu pun membuat otakku tak bisa bekerja dengan normal.
Tanpa ragu aku pun mengambil peti kecil itu dalam kuburnya, kutaruh di sampingnya dan kembali aku memeluk foto itu. foto dengan figura cantik yang ketika aku mengambil satu foto akan muncul foto lain tentang dirinya yang membuatku sadar. "Tuhan aku masih belum bisa mengubur perasaan ini, entah dia yang disana yang kukira bisa membuat aku tak akan membuka satu demi satu graveyard ini ataukah keinginanku untuk bisa terus semu mencintainya."
Seakan jalan hidupku terus merupakan sebuah permainan yang tak akan pernah ada habisnya, aku berharap Tuhanpun mengerti kegundahanku. Aku membiarkan kedua peti itu berada diluar kuburannya. Tapi aku merebut semua cintaku yang lalu, walau itu tak bisa kugapai. "Tuhan terima kasih kau tak biarkan hatiku menguburnya, mungkin jika aku telah menguburnya disaat kegalauan ini menerjangku aku tak miliki pegangan dan sebuah wajah untuk aku merasa punya teman."
Aku bersuara pada Tuhan semalam, mengibaskan diriku dalam kedukaan paling dalam, dalam kamar gelap yang sengaja untuk membuatku merasa nyaman untuk merenung. Dan aku pun hanya bisa menemukan wajah itu lagi. "Tuhan, aku tak mungkin memilikinya, seperti layaknya ia tak mungkin memilikiku.... Rasa ini beda, dan jalan kamipun beda." Aku mencoba memejamkan mata, tapi senyum tipisnya membuatku kembali terhenyak "Tuhan, jangan siksa hatiku. Aku ingin lepas dari semuanya, kala aku miliki pegangan yang seakan bisa kupegang, tetapi mengapa kau membiarkan itu semu, sebuah sandaran penuh bayang-bayang, dan kenapa harus aku kembali mengorek rasa yang ingin aku kubur, Mengapa Tuhan ??? Bisakah Kau membuatku tak lagi perih ???"
Aku ingin jauh dari semua ini, jauh dari negeri ini, jauh dari semua mimpi semu yang diberikan di tanah ini. Mata itu yang tak pernah bisa memandangku dengan utuh, senyum itu yang hanya sebuah goretan lepas tanpa makna, tawa itu hanya pengiring dari candaan lepas tanpa rasa. Dan aku tersiksa di dalamnya. Aku terpaksa menanam cinta itu lagi walau pudar itu telah datang. Aku terpaksa berjalan mengiringinya lagi karena gundahku membuatku tak mampu berfikir.
"Tuhan apa suatu saat dia bisa mengerti perasaanku, Tuhan apakah suatu ketika saat malam, dia termenung dengan tatapan menghadap-Mu dalam sholat malamnya akan mengenang aku ?? Tuhan.... apakah ini jalan yang harus kutempuh dan Tuhan mengapa tiada kering mataku untuk menangisi ketidak berdayaanku untuk mengucapkan isi hatiku kepadanya ?? Tuhan mengapa Kau pertemukan kami saat semua sudah terlambat untukku, di saat aku menanam cinta tanpa tahu siapa yang ia cintai dan aku tak sanggup untuk berhenti mencintainya walaupun langkahku kini berhenti tepat dibelakangnya, melihat punggung bidangnya yang tegap yang terus melangkah bergandengan dengan wanita tercintanya ??? Tuhan kapankah hilang rasa itu, dan kapankah aku dapat menemukan lelaki untuk menggantikannya ??"
Aku menatap langit-langit kamar yang gelap, memutar otak untuk bekerja sewajarnya, tapi aku tahu itu tidak mungkin seperti saat aku bercerita pada Tuhan, mengeluh kepada-Nya.... "Tuhan jangan tinggalkan aku, tegarkan diriku dalam sebaris jalan yang kini kau tunjukkan untukku, entah dipersimpangan mana aku akan menemukan lelakiku, entah disebuah titik yang mana ketika aku melepas lelah ada sebuah wajah yang dapat menyapu kelelahanku. Tuhan ajarkan aku untuk melupakan semua cerita hidupku, ajarkan aku menghapus memori yang kini membuat dadaku sesak, teramat sesak.... sangat sesak !!!"
"Lupakan.... lupakan.... lupakan.... dan lupakan...." itu kata-kata pengiring hidupku untuk setiap langkah yang kubuat dalam setiap detik kala aku mengingatnya. Tapi setiap aku mengatakan itu hatikupun berteriak..... AKU MENCINTAINYA....
|
|
Oleh : constantio ketika 7:06 PM
|
0 Komentar
Wednesday, June 08, 2005
|
Maaf.... (Sori Belum Kelar.... Bagian I)
"Pergi !!!" Seru Verlina lantang, Michael mendekatinya ragu, Ve hanya terdiam dan mematung membelakangi Michael yang terenyuh melihat sikap Ve yang dingin.
"Ve.... aku butuh penjelasan.... Aku mohon !!!" Michael meraih tubuh mungil itu dan merangkulnya erat. Ve langsung menghempaskan pelukan itu dengan kasar. "VE !!!" Michael tampak geram dengan sikap Ve yang semakin aneh.
"Pergi.... Kumohon !!!!" Air matanya tak terbendung lagi, sesak menyiksa tubuh Ve hebat. Ada sangkal dalam dirinya untuk menghilangkan Michael dari semua harapannya. Tapi kini itu harus dilakukannya untuk kebaikan Michael sendiri. "Dan kumohon jangan pernah kembali sampai kau selesai...." Teriak Ve lantang sambil membuang mukanya.
"Ve.... Aku tau kamu akan marah jika tahu aku kuliah di Ansterdam, tapi bukankah dulu kamu menyetujuinya, dan kamu juga akan ikut bersamaku ke sana ??" Sela Michael tak mengerti.
"Aku tak bisa...." Ujar Ve lemas, tubuhnya semakin tak bertenaga, ia seakan ingin terjatuh dari pijakan kakinya yang semakin gemetar.
"Kenapa Ve.... Kamu sudah berjanji kan ?"
"Michael.... ???"
"Ya...." Michael menyiritkan kening dan menunggu kata-kata selanjutnya dari bibir Ve yang putih memucat. Ve menatapnya nanar penuh keputusasaan, bibirnya gemetar dan air matanya tak berhenti mengalir.
"Apa kau mencintaiku ?" Tanya Ve tulus, Michael tersenyum lebar dan dengan tatapan penuh cinta, ia menggangguk.
"Sangat.... Bahkan teramat sangat." Michael menghapus air mata Ve yang terus mengalir, Ve tak bergeming, membisu hingga....
"PERGIIII....!!!!" Teriak Ve lantang dan menghenyakkan tubuh Michael hingga terhuyung ke belakang. Michael menggigit bibir dan kemudian hanya mendesah lemas.
"Aku tak mengerti ada apa dengan dirimu Ve...." Michael merapikan bajunya yang sedikit kusut. "Baik, aku akan pergi.... Aku akan mengikuti semua kemauanmu, tapi asal kau tahu aku akan selalu mencintaimu, sampai kapan pun. Tapi bolehkah aku mengetahui ada apa denganmu, hingga kelakuanmu aneh seperti ini ?"
"Tidak...." Jawab Ve datar. Michael pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, Ia menatap kosong kearah dedauan yang tertiup semilir angin yang sejuk. Ia tahu Ve masih menyayanginya, hanya perlu waktu untuk membuat Ve kembali seperti dulu. Ia kemudian mengecup kening Ve lembut.
"Ini yang terakhir...." Ada bulir air mata yang ingin mengalir di mata coklat Michael yang indah, ia segera mengusap dengan tangannya yang kekar, kemudian membelai wajah Ve dengan penuh kasih. "Biar kupotret wajah manismu hari ini Ve, kusimpan dalam hati, biar potretmu itu akan menemani hari-hariku di sana." Michael mendesah berat. "Aku akan menghubungimu selama aku disana." Ve menundukkan kepalanya dalam-dalam, memejamkan mata sambil merasakan perih dadanya yang ia tahan sejak tadi. Michael terdiam beberapa saat, hingga kemudian Ia membalikkan tubuhnya bersiap untuk pergi.
"Jangan pernah menghubungiku." Ve membalikkan badannya untuk menutupi kehampaan yang kini ia rasakan.
"Ve...." Michael terngaga mendengar ucapan itu. Lalu ia hanya mendesah pendek dan kemudian menepuk bahu Ve yang masih tetap membelakanginya.
"Baik jika itu kemauanmu, aku tidak akan pernah menghubungimu selama aku disana, sama sekali !!!, tidak kepadamu, sahabatmu Dizhi...." Ia sejenak memandang Dhizi yang sejak tadi hanya terdiam melihat pertengkaran mereka. Dhizi tampak begitu gelisah, sama seperti halnya kegelisahan yang menyelimuti Michael saat ini. "....ataupun keluargaku, sekalipun." Lanjutnya sambil tertunduk menatap dalam rerumputan taman rumah Ve yang sangat luas itu. Ia pun mulai melangkah pergi, meninggalkan Ve dan juga Dhizi yang kini menyesali sikap Ve yang sungguh aneh itu.
"Tunggu Ve...." Cegah Dhizi ketika melihat Ve mulai melangkah memasuki teras rumahnya. Ve hanya berdiri tak bergeming, ada isak kecil yang terdengar memilukan hati Dhizi.
"Ve...." Dhizi menghampiri Ve yang semakin terisak tak terkendali.
"Kenapa loe melakukan hal itu Ve ??" Dhizi membalikkan tubuh kecil Ve yang gemetar. "Loe tahu kelakuan loe itu sungguh membuat hati Michael sangat sedih."
"Gue tahu" Ve memandang Dhizi nanar, dan kemudian memeluk erat sahabat baiknya itu. "Tapi gue gak mau ia menderita bila di sampingku."
"Siapa yang bilang seperti itu Ve ?" Dhizi kini merangkulnya lebih erat mencoba membuat tubuh kecil itu kembali tegar seperti dulu ia mengenal Ve, Ve yang tegar, Ve yang ceria dan Ve yang selalu saja membuat Dhizi kagum dengan semua kerendahan hatinya dan keikhlasannya sebagai manusia. "Loe tahu itu tidak benar khan ?"
"Dhizi....." Ve melepaskan rangkulannya dan kini ia terduduk tak berdaya di hadapan Dhizi. "Gue sangat kehilangan Michael." Dia menjerit kecil dalam kepalan tangannya yang meninju tanah beberapa kali. Dhizi terdiam dan kemudian mata birunya yang terlukis indah di wajah Jermannya yang manis itu pun kini mengalir bulir air mata melihat ketidak berdayaan seorang Verlina Herawati.
"Ve.... kamu seharusnya...."
"Aku nggak tau harus berbuat apa, apakah aku harus menahannya disini untuk menemani diriku yang sudah rapuh ini, ataukah harus merelakan kepergiannya yang jelas-jelas kini telah menghancurkan hatiku ?"
"Ve.... Kau sudah menentukan pilihanmu kan ?"
"Dan aku kini menyesalinya ?"
"Ini untuk kebaikan Michael bukan ?"
"Iya.... Demi Michael, demi kebaikan Michael." Ve kini menggigiti buku-buku jarinya yang lentik memanjang. "Zi..... apa aku salah Zi ?"
"Kamu benar Ve....." Dhizi membimbing tubuh mungil itu ke dalam, membiarkan Ve terisak dengan sejuta kegalauan dan kekecewaan yang kini tertumpu padanya. Mama Ve tampak gelisah melihat anaknya yang menangis pilu. Ve membenamkan wajahnya dalam pelukan ibundanya yang kini terus membelai rambut panjang Ve yang dikepang menjuntai ke pinggangnya yang ramping.
"Ve.... Istigfar ya Nak !!" Seru Mama Ve sambil menciumi pipi merah anaknya. Ve hanya berucap pelan, melafaskan nama Allah dengan sendu. "Jangan pernah sesali apa yang telah kamu lakukan, kamu sudah melakukan hal yang tepat." Mama menatap mata Ve sambil tersenyum, dan Ve hanya tertunduk dengan ratapannya yang semakin memilukan. "Ini demi Michael kan ?" Ve mengganguk kecil. "Jadi, kamu telah melakukan hal yang tepat, walaupun mungkin caramu yang tidak tepat, sayang." Mama kembali merangkulnya. "Tapi Mama tak menyalahkanmu."
"Sudahlah Ve..... kondisimu semakin lemah nantinya." Sanggah Dhizi mengingatkan.
"Tuh, dengarkan kata-kata Dhizi.... Memangnya kamu gak kasian sama dia, dia sampai kurus tuh melihat kamu seperti ini." Mama tersenyum diiringi tawa Dhizi yang dipaksakan dan sekelumit senyum tersibak dari kesedihan Ve.
"Dhizi memang sejak dulu kurus Ma."
"Oh ya ?" Mata Mama Ve membulat seakan tak percaya. "Mama dulu melihatnya segemuk Mama." Dhizi terkekeh dan Ve tampak lebih tenang. "Sudah waktunya sholat Dzuhur." Mama merapihkan rambut Ve. "Sebaiknya kalian sholat, Ve.... sholat ya, untuk menenangkan fikiranmu, dan sholat juga baik untuk bathinmu." Ve tersenyum dan mengangguk tanda mengerti. Dhizi pun mulai menghapus air mata yang membanjiri wajahnya dan bersiap-siap untuk sholat jamaah dengan keluarga Ve di hari minggu yang sendu ini.
DZUHUR..... DZUHUR..... Sholat dulu akh.... See Ya
|
|
Oleh : constantio ketika 10:17 PM
|
0 Komentar
|
Menatap Mentari (First Edition)
Ku kembali berlari.... Entah apa yang ingin ku raih, aku berpacu dalam deru malam yang senyap. Aku mengarungi setiap lorong-lorong kota dengan kehampaan, peluhku membanjiri tubuh dengan luapan amarah yang seharusnya tak perlu terjadi. Aku kembali mengejar mimpi hari ini, seperti disetiap malam kala waktu aku sepatutnya terlelap. Ataukah sebenarnya aku berlari dalam keadaan tertidur ? Mungkinkah ? Akankah seganjil itu diriku ?
Tiada pegangan untukku tertegun menangisi nasib, aku bagai pemalam tak kenal lelah, dan kala mentari datang aku tetap terjaga dan terus mengais rejeki di setiap sudut kota ini dengan pakaian lusuhku yang tak pernah ku cuci. Aku ingin seperti manusia-manusia lain yang ada di bumi ini, begitu berdinamika, tidak sepertiku yang malang....
"Fuuuuh....!!!" Aku menghela nafas panjang sambil memegangi lututku yang gemetar.... "Aku lelah...."
Gemuruh suara binatang malam menemani keinginanku melepas rasa lelahku di bawah pohon beringin yang sangat rindang, dan cukup membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya bisa berharap dapat memejamkan mata kali ini, disela rasa laparku yang menghebat. Aku sama sekali tidak menikmati waktu makanku, memang nasibku sedang sial, aku tak dapat menemukan makanan sisa di tong-tong sampah yang sudah menjadi langgananku untuk kukunjungi.
Tapi bukankah aku selalu bernasib sial ?. Aku tertawa dalam dinginnya malam, marasuk tak berperasaan ke seluruh sendi-sendi tubuhku, aku menatap langit yang tertutupi rindangnya dedaunan pohon beringin, aku masih dapat melihat bintang-bintang kecil mengintip sambil seakan-akan mengucapkan "Selamat Malam".
"Malam bintang, ku harap aku bisa tidur pulas malam ini" Sapaku lembut diiringi kekehanku sendiri karena kelakuan anehku ini, mataku mulai meratup dan akhirnya aku terlelap.
Syukurlah aku tak bermimpi malam tadi, aku bisa merasakan kenyamanan tidur yang luar biasa. Aku membuka mata, dan sinar mentari membanjiri wajahku dengan lembut, sebenarnya aku masih mengantuk dan ingin meneruskan tidurku, tapi aku paksakan diri untuk bangun, aku memicingkan mata sambil mencoba untuk mengumpulkan energiku di pagi ini.
"Kenapa banyak orang yang mengelilingiku ?", tanyaku dalam hati. Sambil menerka-nerka jawabannya ketika melihat orang-orang mengerumuni diriku. Kutatap setiap wajah gelisah itu yang membuatku semakin tak mengerti, mataku kini menyapu setiap arah, hingga....
Aku menemukan tubuhku tergulai lemas tepat disamping kananku, dengan raut wajah pucat dan seuntai senyum hambar terpajang di sana. Aku terlonjak kaget diiringi jeritanku yang sudah tentu tak bisa didengarkan oleh orang-orang itu. Aku menatap tubuhku dengan seksama, menelitinya dengan kebinggungan luar biasa, tubuh itu sangat dingin, tak berekspresi dan tak berjiwa....
"Ini tidak mungkin....", gumamku tak percaya. "Aku telah mati...??", tambahku. Aku hanya bisa tersenyum kecut menantang Tuhan. Cepat-cepat aku singkirkan pikiran itu dari otakku, dan kini aku tersenyum puas sambil penuh kegembiraan menatap langit pagi yang kini begitu kucintai.
"Terima kasih...." Aku berteriak dengan sekuat tenagaku. Terima kasih kupanjatkan kepada Tuhan yang kini telah menghentikan derita panjangku di dunia yang kejam ini, disaat aku seharusnya merasakan pagi yang wajar sebagai manusia yang tersisih, yang begitu malang yang harus terus berjalan mencari tong-tong sampah, berharap dewi keberuntungan bersamaku, dan... menemukan makanan sisa yang dapat kujadikan santapanku.
Mungkin Tuhan mendengar lelahku tadi malam, pikirku sambil terus memandangi tubuh pucat itu, aku menghampiri tubuh itu dan terus berusaha untuk menjamahnya beberapa kali, walau kutahu itu tidak mungkin. Aku mulai menjauhi kerumunan manusia-manusia yang mencibir jijik melihat jasadku, kemudian menatapnya dari kejauhan. Sosok anak laki-laki memandangiku dengan tatapan tajam penuh tanda tanya, sesekali ia melihat kerumunan orang-orang itu, dan kembali menatapku tanpa berkedip. Ia menghampiriku dengan segenap keberaniannya untuk mendekati sesosok ROH. Ya benar.... sekarang ini statusku adalah ROH.
"Om, bukannya yang di sana tadi ?", ia menunjukkan jari telunjuknya yang mungil ke"rah kerumunan itu. "Itu kan Om...", tambahnya meyakinkan. Aku hanya bisa mengangguk "Tapi bukannya sudah meninggal ?" Ia semakin mendekatiku, "Gak mungkin Om ada disini, lalu disana itu siapa ?", ia kembali melirik ke arah dimana ia tunjukkan tadi. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu. "Apa itu kembaran Om ?", Tanya lagi sambil menyirikan keningnya yang lebar, aku hanya menggeleng. "Lalu ?"
"Itu.... Om." Sahutku lirih, mencoba untuk tidak menakutinya.
"Oo...." jawabnya ringan. "Jadi om ini adalah ROH.... atau ARWAH yach....", ia mencoba menjamahku dan selalu saja tak berhasil, aku hanya tersenyum yang kadang diiringi tawa kecil melihat kegigihannya untuk menyentuh tubuhku.
"Kamu gak takut, adik kecil ???", aku menatapnya dalam.
"Tidak...", sahutnya cepat. "Mengapa harus takut ?, kamu roh yang tidak menyeramkan." Aku menatap diriku, mencoba mencerna kata-katanya, ya.... Mungkin benar ucapannya, karena melihat kondisiku sekarang ini jauh lebih baik dari pada saat aku hidup, aku luar biasa bersih dibalut dengan pakaian ang serba putih. Aku mencoba membayangkan wajahku sendiri, mungkin aku lebih terlihat "cute" ketika aku sudah mati sekarang ini.
"Om.... enak gak mati ???", anak itu menggaruk-garukkan kepala mungilnya, dan tanpa berperasaan bertanya hal yang sangat konyol itu. Aku hanya mencibirkan bibirku dan kemudian duduk bersila mencoba mensejajarkan diri dengannya.
"Om sendiri belum tau, om baru saja mati atau memang dari tadi malam, om gak tau....", aku menggidikkan bahu.
"Perasaan Om seakan bagun pagi seperti biasanya, dan tiba-tiba Om sudah dikerumuni orang ramai, dan dari situ Om baru menyadari bahwa sebenarnya Om sudah meninggal.", tambahku mencoba menjelaskan kepadanya.
"Wah.... Matinya enak banget, gak ada rasa sakit sama sekali dong ?", wajah mungilnya begitu berseri-seri. Aku hanya menggangguk, walaupun aku tidak menyukai pertanyaan-pertanyaan konyolnya itu.
"Om, habis ini mau pergi kemana ?", anak itu mulai sibuk dengan bungkusan kecil yang dibawanya, ia mengeluarkan sebuah komik dari tumpukan buku-buku kecil aku aku kira seluruh isi bungkusan itu adalah buku komik.
"Om, gak tau.", jawabku jujur.
"RUDDYYYYY....", terdengar teriakan wanita dari arah kerumunan orang-orang itu, anak lelaki itu segera mencari-cari sumber suara dan kemudian mengembangkan senyumnya setelah melihat sesosok wanita muda menatapnya penuh kasih.
"Itu ibuku, Om.", tunjuknya, wanita itu sangat anggun dan manis. "Aku harus kesana....", ia memasukkan kembali komiknya dalam bukusan itu, dan kemudian ia menatapku dalam.
"Hati-hati ya, Om....", sahutnya sedikit menasehatiku, aku hanya mengangguk dan menatapnya berlari menghampiri ibunya, sesekali ia menegok kebelakang sambil melambaikan tangannya. Wanita muda itu kini menatapku nanar, lalu ia tersenyum dengan ramah. Aku sedikit kaget ketika menyadari wanita itu juga bisa melihat sosok baruku. Aku melanjutkan perjalanan yang sebenarnya aku sendiri tidak mengetahui harus pergi kemana, tapi kini langkahku lebih ringan, lebih tiada ada rasa beban. Kini aku bisa berjalan dan berlari semauku tanpa harus diburu rasa lapar dan haus, serta kegilaan aktifitas manusia lainnya.
Aku mendapati dunia baru dan aku mulai mencintainya.... Dunia Gaib dan aku adalah ROH.... Gelakku dalam tarian pagi ini....
Dipersembahkan untuk Majalah Selasar Edisi Kedua
|
|
Oleh : constantio ketika 9:38 PM
|
0 Komentar
| |
|
|